“Keajaiban 20 tahun silam yang aku alami akan tetap terpatri dalam hatiku. Tumor yang telah membuatku mengerang kesakitan lenyap oleh kuasa nama Yesus,” kata Bini Siswowidodo (57 tahun), ibu delapan anak dan nenek enam cucu.

Pertengahan 1984, Bini merasakan ada yang tak beres pada perutnya, penat, seperti ada yang menekan. Namun itu tak dihiraukannya. Ia tetap bekerja seperti biasa. Bangun pukul 23.00 WIB saat kebanyakan orang di Desa Be-jen, Kaliwungu, Semarang masih lelap tidur. Setiap hari ia harus puas dengan tidur 4 sampai 5 jam. Tangannya dengan sigap menyiapkan masakan yang akan dijualnya di Pasar Teguhan-Boyolali atau Kaliwungu. Menu yang ia siapkan cukup beragam. Nasi soto, sambal goreng, pecel, dan beberapa sayuran. Sedangkan suaminya berjualan kain di Blitar.


Bini memang harus kerja keras. Saat itu keenam anaknya masih sangat butuh biaya sekolah. “Saya ingin mereka berpendidikan, lebih baik dari kami orangtuanya,”aku Bini yang tak tamat SD.

Untunglah anak-anak cukup mengerti kondisi orangtuanya. “Mereka semaksimal mungkin membantu saya. Sepulang sekolah mereka memotong sayur-mayur yang akan dimasak malam harinya. Bahkan anak-anak yang agak besar terpaksa bergilir tidak masuk sekolah untuk menjaga adik-adiknya di rumah. Sampai-sampai anak saya Catur dapat julukan Mbok Pon karena setiap Pon ( penanggalan jawa, red) ia tidak sekolah,” kata Bini mengenang.

Menderita Tumor
Suatu pagi, Bini tak dapat menahan rasa sakit. Perutnya seperti diaduk. Kali ini ia terpaksa ke dokter di Boyolali. Setelah diberi obat, ia merasa lebih enak, tak lama kemudian rasa sakitnya berkurang. Namun ia tak bisa tenang-tenang istirahat di rumah. ”Meski kadang perut kambuh, selama bisa ditahan, saya tetap berjualan. Kebutuhan makan sehari-hari untuk anak sangat besar. Belum lagi keperluan sekolah yang juga tak sedikit. Kalau saya nggak kerja, gimana?” tutur wanita sederhana yang selalu berkebaya ini.

Lima bulan kemudian, Bini kembali ke dokter, lagi-lagi karena ia tak tahan dengan rasa sakit yang menyerang. Ketika ia meraba-raba perutnya, seperti ada yang mengganjal. Karuan saja, ia kaget dan panik. Oleh dokter yang kedua, Bini dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap. Dengan hati yang lunglai, Bini diantar keluarga pergi ke RS Jebres di Solo.

Bayangan dan pikiran Bini campur aduk tak karuan, satu sisi memikirkan sakitnya, di sisi lain ia teringat anak-anak, pekerjaan, dan segudang kebutuhan. “Pikiran saya nggak karuan, apalagi saya dengar harus rawat-inap,” kenangnya getir. Hari kesebelas di rumah sakit, pikiran Bini makin galau saat mendengar penjelasan bahwa dari hasil USG ada tumor di perutnya dan harus segera dioperasi.

Tumor? Operasi? Sungguh dua kata itu sangat menakutkan baginya. Tidak saja bayangan sakitnya dioperasi, tapi juga anak-anak yang harus ditinggalkan di rumah. Bagaimana pula dengan biaya yang cukup besar. Dari mana ia mendapat semua itu?

Perut Kian Membesar
Kondisi Bini makin memprihatinkan. Perutnya membesar, ia tak lagi bebas bergerak, untuk duduk pun ia harus mencari posisi yang pas supaya rasa sakitnya berkurang. Bahkan akhirnya Bini tak mampu lagi berjalan. Ia perlu bantuan orang lain untuk memapah atau menggendongnya. “Perut saya sebesar balon dan keras sekali. Hampir semua orang yang melihat kondisi saya menangis. Hati saya tambah sedih kalau ditengok teman. Dalam hati saya bertanya, kenapa saya harus mengalami semua ini?” kisahnya.

Ingin rasanya ia menolak untuk operasi namun ia juga takut akan kondisinya yang makin parah. “Saya betul-betul bingung. Dalam hati saya berkata, ‘Duh Gusti tolong saya.’ Beberapa hari sebelumnya anak kedua kami Christine Sri Rahayu yang telah kenal Yesus menjagai, menghibur, dan menguatkan. Beberapa temannya pun datang menengok dan mengatakan hal yang sama bahwa ada pertolongan dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Kala itu, anak-anaknya yang kecil sudah mulai ikut Sekolah Minggu.”

Ketakutan dan kebingungan Bini makin memuncak. Tubuhnya pun luruh tanpa daya. Ia tak pernah mampu menata hatinya untuk tetap tenang. Saat gundah dan sedih merasuk hati ia teringat ucapan-ucapan yang memberi harapan bahwa Yesus Kristus dapat menolong. Ia berdoa dalam hatinya dengan permintaan sederhana, tolong saya ya Tuhan.

Percaya Yesus, Tumor Menghilang
Malam hari sebelum tindakan operasi, Bini ditengok Denish Free, seorang misionaris asal Amerika yang melayani di GJKI Salatiga dan juga kebaktian keluarga di lingkungan tempat tinggal Bini. Denish sudah sangat dikenal Bini karena kerap bertandang ke rumahnya menemui anak-anaknya.
Malam itu adalah saat yang terindah dalam hidup Bini. Ia mendengar dari Denish tentang jalan keselamatan di dalam nama Yesus Kristus. Roh Kudus bekerja di dalam hatinya. Memberi pengertian baru bahwa hanya melalui darah penebusan Yesus, manusia bisa sampai kepada Allah. Ada kehidupan kekal bagi orang percaya. Tak hanya itu, Denish juga menjelaskan kuasa Yesus yang ajaib dan mukjizat kesembuhan di dalam nama-Nya.

Malam itu, oleh karya Roh Kudus, Bini percaya kepada Yesus. Denish berdoa untuk Bini agar iman di hatinya terus tumbuh. Doa yang kedua, memohon kesembuhan untuk tumor Bini. “Setelah doa, meski masih sakit sekali, pikiran saya tenang. Saya berserah pada Tuhan,” imbuhnya.

Esok paginya sekitar pukul 05.00 WIB, Bini buang air kecil. Darahnya berdesir, jantungnya berdegup keras. Kaget tak karuan. Bini hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air seninya hitam pekat seperti air kopi dan bau menyengat. “Perut saya yang gede seperti orang hamil 9 bulan lama-lama kempes,” kisahnya dengan mata berkaca-kaca mengingat kejadian ajaib itu.
Tentu saja Bini heran dengan kejadian itu. Begitupun Christine yang menemani di rumah sakit sepanjang malam. Berita segera sampai di telinga suster jaga dan akhirnya pihak rumah sakit kembali mengecek kondisi Bini, USG lagi. Hasilnya? Mukjizat Tuhan! Tumornya tidak ada! Rasa sakit yang menyiksanya hilang lenyap. Bini merasakan badannya segar. “Seperti mimpi,” ucapnya.

Kesaksiannya Membawa Berkat
Dokter yang menangani Bini tak kalah bingung. “Dia bertanya pada saya, dikasih apa Bu? Pakai dukun, ya?” kata Bini menirukan kebingungan dokter. Bini lantas cerita pada dokter apa adanya. Apa yang telah ia dengar, apa yang dirasakannya. “Saya percaya yang menyembuhkan saya Gusti Yesus. Saya ndak pakai apa-apa. Cuma didoakan dan percaya saja pada-Nya,” katanya.
Kejadian ajaib itu segera saja sampai di Desa Bejen, tempat tinggal Bini. Semua orang yang mendengarnya takjub. Lebih-lebih bagi mereka yang sehari sebelum kejadian itu membesuk Bini, melihatnya dengan perut besar dan merintih kesakitan. Tetangga, keluarga, dan teman-teman di pasar yang datang melihatnya, tentu saja penasaran ingin mendengar ‘kisah aneh’ tersebut.

Dua hari kemudian, Bini diizinkan pulang, meninggalkan rumah sakit. Apa yang telah terjadi itu benar-benar sebuah kesaksian besar tentang kuasa Tuhan. Beberapa orang yang yang tak puas dengan kisah Bini yang selintas itu kembali mendatanginya untuk bertanya lebih dalam. “Saya cerita apa adanya. Ndak nambahi, ndak ngurangi. Pokoknya saya didoakan, saya beriman, saya percaya Tuhan Yesus dan paginya terjadi seperti itu. Lalu firman Tuhan yang diceritakan pada saya itu saya ceritakan kembali pada orang-orang yang tanya sama saya. Mbah Soma, salah satu tetangga yang dengar cerita saya itu lalu menerima Yesus. Sampai sekarang ia setia pada Tuhan dan rajin pergi ke gereja,” kenangnya penuh rasa haru.

Merasakan Perubahan Hidup
Merasa sudah sehat, beberapa hari kemudian Bini kembali bekerja, jualan di pasar. Namun ada satu perubahan. Bukan cuma kerja keras yang dilakukan Bini setiap harinya. “Saya juga berdoa mohon berkat untuk jualan saya dan berdoa juga buat anak-anak,” kata Bini tersenyum.
Sukacita Bini melimpah. Sungguh ia tak dapat menghitung kebaikan-kebaikan Tuhan. Doa dan kerja yang dilakukan bertahun-tahun telah membuahkan hasil. “Saya berterima kasih sama Tuhan, anak-anak bisa sekolah dengan baik, dan ikut Tuhan”.

Harapan Bini tercapai. Kedelapan anaknya, Subito, Christine Sri Rahayu, Suharso, Catur Samiasih, Is Wahyudi, Wiji Utami, Erni Johan, dan Hasto Nugroho telah mengecap pendidikan lebih dari orangtuanya. Uniknya, empat dari mereka adalah jebolan STII Jogjakarta. “Anak bungsu saya masih kuliah di UKRIM,” kata Bini yang banyak mengasuh anaknya sendirian karena suaminya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Rentetan anugerah yang dirasakan Bini seakan melingkupi masa tuanya. Dan pasti anugerah terbesar dalam hidupnya adalah perjumpaannya dengan Yesus, Sang Juru Selamat. “Saya madep mantep nderek Gusti Yesus,” ungkapnya dalam bahasa Jawa. Maksudnya, ia tidak ragu-ragu atau sungguh-sungguh mantap mengikut Tuhan Yesus.